Kamis, 28 Juli 2011

Terinspirasi Dari Sebuah Kisah

Si Kuli Panggul
Oleh : Dwinda Nurningsih.
Anggota FLP Cabang Pekanbaru angkatan 6.
Dari balik jendela rumahku, yang tepat berada di pinggiran pasar ini, aku menatap hiruk pikuk keramaian orang-orang yang sedang bertransaksi. Namun tiba-tiba mata ini menangkap lekat sosok paruh baya yang baru saja melintas di hadapanku. Dan sosok itu tak asing lagi bagiku. Aku mengenalinya sebagai kuli panggul kawakan di pasar pekanan Desa Sialang Makmur ini tepatnya 9 tahun yang lalu saatku belum melanjutkan studi ke Jogja.
Kini kulihat wajah si kuli panggul itu tampak terlihat lebih tua dari kebanyakan orang yang usianya sama dengannya, guratan garis-garis di dahi melukiskan beratnya beban hidup yang harus ditanggungnya. Namun ketekunan, ketabahan, ketegaran  dan kata-katanya mampu menginspirasiku untuk dapat lebih bersyukur atas segala nikmat yang telah Allah titipkan padaku. Ingin rasanya aku mendekatinya, memeluknya dan mengucapkan ribuan terima kasih yang tiada terkira. Di balik tatapan banggaku, tersirat jutaan iba yang kurasakan dari beratnya kehidupannya yang harus ia jalani.
            Kembali pikiranku melayang dalam kenangan 9 tahun silam sewaktu aku masih duduk di kelas 3 SMP, aku setengah berlari menembus kesibukan orang-orang di tengah ramainya suasana pasar pekanan pagi itu, dengan harapan akan dapat mengejar langkah kaki si kuli panggul yang tampak repot dengan karung beras 20 Kg di bahu kanannya dan tas belanja yang dijinjing dengan tangan kirinya. Saat posisi tubuhku tepat berada di belakangnya, kuayunkan  tangan kanan untuk menggapai salah satu sisi bahunya.
Langkah kakinya seketika terhenti dan tubuhnya pun berbalik ke arahku tanpa tatapan marah yang terlihat dari jujur butir bening matanya, karena ada seseorang yang mengganggunya saat bekerja. Dan senyum ramahnya menyambutku dengan penuh kehanggatan, seolah-olah ia telah mengenaliku. Dan aku pun memulai percakapan pertama ku dengannya.
            “Ibu sepertinya terlalu lelah membawa semua belanjaan itu Bu,” si kuli panggul itu tidaklah menjawab pertanyaanku, dan ia malah berbalik tanya padaku.
            “Kamu ya yang namanya Joko?” mendengar ucapannya itu aku sedikit terkejut.
            “Lho kok Ibu tau?”
            “Panggil aku Bu Tini, aku sudah hampir  2 tahun bekerja di pasar ini semenjak kematian suamiku.”
            “Lalu apa hubungannya hal itu denganku Bu?”
            “Memang tidak ada hubungannya Nak, hanya saja aku sering melihatmu mangkal di depan ruko Zahrain dan seketika itu ada yang memanggilmu dengan sapaan Joko.”
            “Bu Tini ini ada-ada saja. Kalau seandainya tadi Ibu salah orang gimana?”
            “Ya untung saja tidak salah bukan?”
            “Iyalah Bu.”
            “Sebelumnya aku juga telah mengenalmu dari cerita-cerita anak ku. Nining namanya. Dia sering bercerita tentang seorang anak pemalas dikelasnya yang bernama Joko. Dan saya rasa anak itu adalah kamu nak?”
            “Wah Ibu Tini ini kok percaya sih sama ucapan Nining? Apa ibu lihat diwajahku ini ada label pemalas?” kataku membela diri. Dan sebelum Bu Tini berkomentar, aku kembali menawarkan diri untuk membantunya.
“Sepertinya terlalu banyak barang yang ada di panggulan pundakmu Bu? Bolehkah saya membantu membawanya?”
            “Tidak perlu Nak. Saya sudah biasa mengerjakan ini semua sendiri. Lebih baik kamu pulang saja dan belajar.”
            “Kenapa begitu Bu?  Aku ikhlas nawarinya lho Bu?” senyum tulus itu kembali terlihat dari bibir Bu Tini setelah mendengarkan ucapan polosku tadi, setelah itu Bu Tini menasehatiku.
            “Anak muda, aku tahu bahwa Ibumu telah meninggal dan pekerjaan Bapakmu hanyalah seorang petani dengan hasil pas-pasan, tapi pastilah mereka menginginkanmu bisa menjadi seseorang yang berhasil dan berpendidikan. Karena itulah kamu tak boleh sia-siakan waktumu. Pulanglah dan belajarlah lebih rajin. Tak ada guna kamu sering kongkow-kongkow barengan sama preman-preman pasar itu. Jangan menunggu penyesalan itu datang menghampirimu. Dan kembalilah menawarkan bantuanmu padaku saat kamu telah berhasil nanti.” Dan usai berucap ia pun segera berlalu.
            Awalnya hati ini kesal, karena niat baikku harus berujung dengan sebuah penolakan yang kurasa sangat menyinggung harga diriku. Di setiap langkah demi langkah yang kuayun menuju rumah, hati ini tak henti-hentinya menggerutu. Dalam keadaan kesal itu, aku pun berniat untuk membalas kata-katanya yang kuanggap hinaan yang terlontar dari mulut Bu Tini itu dengan bukti yang nyata bahwa aku bisa menjadi seperti apa yang ia katakana “Seorang anak muda yang sukses” tetapi tetap berbudi baik. Tapi tetap saja, ucapan Nining kembali terngiang ditelingaku, kata-katanya begitu fasih melontarkan pujian tentang ketegaran dan beratnya kehidupan yang harus Bu Tini pikul, menjadi kuli panggul dikala pagi hingga siang, dan sore harinya ia harus bekerja di kebun sayurnya. Malam harinya pun tidak ia gunakan untuk beristirahat secara utuh, karena ia harus membuat kue dan gorengan yang akan Nining bawa untuk dijualnya di Sekolah. Awalnya aku sempat tidak percaya, mungkin Nining bercerita tentang beratnya kehidupan yang dia dan ibunya rasakan itu hanya karena dia ingin diperhatikan olehku, tapi ternyata pikirku salah. Beberapa hari belakangan ini aku melihat langsung kebenaran dari ucapan Nining tentang Bu Tini. Hal itu saat ini memenuhi pikiranku dan mampu menginspirasiku untuk menjadi sosok pemuda yang sukses. Agar aku bisa membahagiakan Ayahku di hari senjanya nanti. Dan mungkin juga ada kebahagiaan yang akan kusuguhkan untuk si kuli panggul itu.
            Sejak hari itu, aku mulai rajin belajar hingga sampailah aku pada saat sekarang. Di awal pintu kesuksesan yang telah menantiku. Dan aku pun telah lupa akan niatku terhadap Bu Tini yang terucap 9 tahun yang lalu. Tetapi saat mata ini kembali menatap sosok paruh bayanya, memori bawah sadarku kembali memutar kenangan itu. Dan tak kuasa butiran bening halus ini harus keluar secara perlahan dari ujung kedua mataku. Betapa aku rindu akan sosoknya yang telah lama terkubur dalam ingatanku, dan kini kutemukan lagi.
            Segera kubuka pintu rumah dan kali ini aku mengejarnya dengan cepat menerobos hiruk-pikuk keramaian pasar dan rintik-rintik air hujan yang mulai turun. Dalam hati sangat berharap dapat kembali menemukan sosok Bu Tini yang baru saja berlalu. Tepat di hadapannya aku berdiri memaku,  Bu Tini menjadi heran, dengan tingkahku itu.
            “Siapa kamu ini anak muda? Dan kenapa kamu menghalangi langkahku?”
            Segera kuceritakan bahwa sebenarnya aku adalah anak muda bernama Joko yang ia nasehati 9 tahun yang lalu saat hendak membantunya membawa beras yang kini telah berhasil sukses dengan predikat cum laude dalam pogram studi S2 Pendidikan Biologi dan IPK 3,95 walaupun dengan bermodalkan beasiswa dari pemerintah. Tapi kutetap bersyukur. Dan mungkin ini semua takkan kuraih jika niat serta emosi itu tak muncul 9 tahun yang lalu. Terima kasih duhai Bu Tini. Walaupun engkau hanyalah seorang kuli panggul di pasar dekat rumahku, engkau mampu merubah hidupku dengan seuntai nasihat dalam kata-kata singkatmu. Dan beratnya hidup yang harus kau jalani adalah inspirasi terbesar yang pernah kurasakan dalam hatiku. Engkaulah sosok baru yang mampu mencurahkan kembali hangatnya kasih ibu yang telah lama hilang dalam kehidupanku. Dan tatapan bangga dari sorot matanya kini mempu aku rasakan.
            “Sudah bolehkah aku membantumu sekarang Bu?”
Pekanbaru, selasa 12042011