Si Kuli Panggul
Oleh
: Dwinda Nurningsih.
Anggota
FLP Cabang Pekanbaru angkatan 6.
Dari
balik jendela rumahku, yang tepat berada di pinggiran pasar ini, aku menatap
hiruk pikuk keramaian orang-orang yang sedang bertransaksi. Namun tiba-tiba
mata ini menangkap lekat sosok paruh baya yang baru saja melintas di hadapanku.
Dan sosok itu tak asing lagi bagiku. Aku mengenalinya sebagai kuli panggul
kawakan di pasar pekanan Desa Sialang Makmur ini tepatnya 9 tahun yang lalu saatku
belum melanjutkan studi ke Jogja.
Kini
kulihat wajah si kuli panggul itu tampak terlihat lebih tua dari kebanyakan
orang yang usianya sama dengannya, guratan garis-garis di dahi melukiskan
beratnya beban hidup yang harus ditanggungnya. Namun ketekunan, ketabahan,
ketegaran dan kata-katanya mampu
menginspirasiku untuk dapat lebih bersyukur atas segala nikmat yang telah Allah
titipkan padaku. Ingin rasanya aku mendekatinya, memeluknya dan mengucapkan
ribuan terima kasih yang tiada terkira. Di balik tatapan banggaku, tersirat
jutaan iba yang kurasakan dari beratnya kehidupannya yang harus ia jalani.
Kembali pikiranku melayang dalam
kenangan 9 tahun silam sewaktu aku masih duduk di kelas 3 SMP, aku setengah
berlari menembus kesibukan orang-orang di tengah ramainya suasana pasar pekanan
pagi itu, dengan harapan akan dapat mengejar langkah kaki si kuli panggul yang
tampak repot dengan karung beras 20 Kg di bahu kanannya dan tas belanja yang dijinjing
dengan tangan kirinya. Saat posisi tubuhku tepat berada di belakangnya, kuayunkan
tangan kanan untuk menggapai salah satu
sisi bahunya.
Langkah
kakinya seketika terhenti dan tubuhnya pun berbalik ke arahku tanpa tatapan
marah yang terlihat dari jujur butir bening matanya, karena ada seseorang yang mengganggunya
saat bekerja. Dan senyum ramahnya menyambutku dengan penuh kehanggatan,
seolah-olah ia telah mengenaliku. Dan aku pun memulai percakapan pertama ku
dengannya.
“Ibu sepertinya terlalu lelah
membawa semua belanjaan itu Bu,” si kuli panggul itu tidaklah menjawab pertanyaanku,
dan ia malah berbalik tanya padaku.
“Kamu ya yang namanya Joko?”
mendengar ucapannya itu aku sedikit terkejut.
“Lho kok Ibu tau?”
“Panggil aku Bu Tini, aku sudah hampir
2 tahun bekerja di pasar ini semenjak
kematian suamiku.”
“Lalu apa hubungannya hal itu denganku
Bu?”
“Memang tidak ada hubungannya Nak, hanya
saja aku sering melihatmu mangkal di depan ruko Zahrain dan seketika itu ada yang
memanggilmu dengan sapaan Joko.”
“Bu Tini ini ada-ada saja. Kalau
seandainya tadi Ibu salah orang gimana?”
“Ya untung saja tidak salah bukan?”
“Iyalah Bu.”
“Sebelumnya aku juga telah
mengenalmu dari cerita-cerita anak ku. Nining namanya. Dia sering bercerita
tentang seorang anak pemalas dikelasnya yang bernama Joko. Dan saya rasa anak
itu adalah kamu nak?”
“Wah Ibu Tini ini kok percaya sih
sama ucapan Nining? Apa ibu lihat diwajahku ini ada label pemalas?” kataku
membela diri. Dan sebelum Bu Tini berkomentar, aku kembali menawarkan diri
untuk membantunya.
“Sepertinya
terlalu banyak barang yang ada di panggulan pundakmu Bu? Bolehkah saya membantu
membawanya?”
“Tidak perlu Nak. Saya sudah biasa
mengerjakan ini semua sendiri. Lebih baik kamu pulang saja dan belajar.”
“Kenapa begitu Bu? Aku ikhlas nawarinya lho Bu?” senyum tulus
itu kembali terlihat dari bibir Bu Tini setelah mendengarkan ucapan polosku
tadi, setelah itu Bu Tini menasehatiku.
“Anak muda, aku tahu bahwa Ibumu
telah meninggal dan pekerjaan Bapakmu hanyalah seorang petani dengan hasil
pas-pasan, tapi pastilah mereka menginginkanmu bisa menjadi seseorang yang
berhasil dan berpendidikan. Karena itulah kamu tak boleh sia-siakan waktumu.
Pulanglah dan belajarlah lebih rajin. Tak ada guna kamu sering kongkow-kongkow
barengan sama preman-preman pasar itu. Jangan menunggu penyesalan itu datang
menghampirimu. Dan kembalilah menawarkan bantuanmu padaku saat kamu telah
berhasil nanti.” Dan usai berucap ia pun segera berlalu.
Awalnya hati ini kesal, karena niat
baikku harus berujung dengan sebuah penolakan yang kurasa sangat menyinggung
harga diriku. Di setiap langkah demi langkah yang kuayun menuju rumah, hati ini
tak henti-hentinya menggerutu. Dalam keadaan kesal itu, aku pun berniat untuk
membalas kata-katanya yang kuanggap hinaan yang terlontar dari mulut Bu Tini
itu dengan bukti yang nyata bahwa aku bisa menjadi seperti apa yang ia katakana
“Seorang anak muda yang sukses” tetapi tetap berbudi baik. Tapi tetap saja,
ucapan Nining kembali terngiang ditelingaku, kata-katanya begitu fasih
melontarkan pujian tentang ketegaran dan beratnya kehidupan yang harus Bu Tini
pikul, menjadi kuli panggul dikala pagi hingga siang, dan sore harinya ia harus
bekerja di kebun sayurnya. Malam harinya pun tidak ia gunakan untuk
beristirahat secara utuh, karena ia harus membuat kue dan gorengan yang akan
Nining bawa untuk dijualnya di Sekolah. Awalnya aku sempat tidak percaya,
mungkin Nining bercerita tentang beratnya kehidupan yang dia dan ibunya rasakan
itu hanya karena dia ingin diperhatikan olehku, tapi ternyata pikirku salah. Beberapa
hari belakangan ini aku melihat langsung kebenaran dari ucapan Nining tentang
Bu Tini. Hal itu saat ini memenuhi pikiranku dan mampu menginspirasiku untuk
menjadi sosok pemuda yang sukses. Agar aku bisa membahagiakan Ayahku di hari senjanya
nanti. Dan mungkin juga ada kebahagiaan yang akan kusuguhkan untuk si kuli panggul
itu.
Sejak hari itu, aku mulai rajin
belajar hingga sampailah aku pada saat sekarang. Di awal pintu kesuksesan yang
telah menantiku. Dan aku pun telah lupa akan niatku terhadap Bu Tini yang
terucap 9 tahun yang lalu. Tetapi saat mata ini kembali menatap sosok paruh
bayanya, memori bawah sadarku kembali memutar kenangan itu. Dan tak kuasa
butiran bening halus ini harus keluar secara perlahan dari ujung kedua mataku.
Betapa aku rindu akan sosoknya yang telah lama terkubur dalam ingatanku, dan
kini kutemukan lagi.
Segera kubuka pintu rumah dan kali
ini aku mengejarnya dengan cepat menerobos hiruk-pikuk keramaian pasar dan
rintik-rintik air hujan yang mulai turun. Dalam hati sangat berharap dapat
kembali menemukan sosok Bu Tini yang baru saja berlalu. Tepat di hadapannya aku
berdiri memaku, Bu Tini menjadi heran, dengan tingkahku itu.
“Siapa kamu ini anak muda? Dan
kenapa kamu menghalangi langkahku?”
Segera kuceritakan bahwa sebenarnya
aku adalah anak muda bernama Joko yang ia
nasehati 9 tahun yang lalu saat hendak membantunya membawa beras yang kini
telah berhasil sukses dengan predikat cum laude dalam pogram studi S2
Pendidikan Biologi dan IPK 3,95 walaupun dengan bermodalkan beasiswa dari
pemerintah. Tapi kutetap bersyukur. Dan mungkin ini semua takkan kuraih jika
niat serta emosi itu tak muncul 9 tahun yang lalu. Terima kasih duhai Bu Tini.
Walaupun engkau hanyalah seorang kuli panggul di pasar dekat rumahku, engkau
mampu merubah hidupku dengan seuntai nasihat dalam kata-kata singkatmu. Dan
beratnya hidup yang harus kau jalani adalah inspirasi terbesar yang pernah
kurasakan dalam hatiku. Engkaulah sosok baru yang mampu mencurahkan kembali
hangatnya kasih ibu yang telah lama hilang dalam kehidupanku. Dan tatapan
bangga dari sorot matanya kini mempu aku rasakan.
“Sudah bolehkah aku membantumu
sekarang Bu?”
Pekanbaru, selasa 12042011