selamat membaca . semoga bermanfaat .
http://dnurningsih.blogspot.com
BERGULAT DENGAN MALAM
Karya : Dwinda Nurningsih
Pku(DN/24/Maret/2011)
Bayangan hitam menyekap ku dalam ikatan yang sangat erat, menuntunku secara perlahan menuju kehidupan yang hitam. Hari ku yang
dulu indah kini berubah menjadi kelam. Nanar mata ini memandang sekeliling yang
dipenuhi suasana abu-abu, entah dimana kaki ini akan kokoh berpijak.
“Jika aku tak mengingat bahwa kakak ku telah menitipkan mu kepadaku
sebelum kepergiannya, mungkin kau sudah habis aku aniaya! Kau Ingat kata-kataku
ini Dina, bersyukurlah!” Bisik bayangan yang selalu mencengkram erat tangan
mungilku. Aku menjerit dalam ketakutan, menyaksikan senyumannya yang dipenuhi
rasa kebencian, tapi tak satupun orang mendengar jeritku malam ini. Aku
menangis sedih, tersengal nafas ku merasai semua kejadian malam ini.
Keheningan ini memaksaku untuk tetap bungkam. Fikirku kembali melambung,
berkecamuk dalam angan-angan yang penuh kebohongan, Ruangan kamar ini
seakan-akan bagaikan penjara! Ya Tuhan, perih hati ku berada dalam posisi ini.
Sungguh tubuh ku tiada lagi berasa, namun mata hati ini nanar memandang lembah
yang begitu kelam. Seakan terpaku jiwa ku tak lagi berdaya ketika harus menemui
sebuah kenyataan yang memaksaku untuk percaya, bahwa kekejaman ini sangat
menyiksa.
Matanya
menghujamkan tatapan bringas padaku. Tubuhku semakin mengigil dalam gelisah,
angin malam yang biasanya selalu memberiku ketenangan, seakan-akan berubah
menjadi sembilu yang dengan tajamnya mampu menyayat-nyayat batinku hingga rasa
ini semakin dalam kurasakan. Ya Tuhan ……… Aku benci kejahatan!!!
Sesaat bayangan itu berlalu dari hadapan ku, melepaskan genggaman erat
yang membuat pembuluh darahku sedikit bernafas lega. Tapi ia kembali dengan
membawa selembar photo ditangan kanannya. “Kau ingat siapa dia Din?” Lekat ku
menatap sosok dalam bingkai itu dan wajah dalam photo itu mengingatkan ku akan
sosok gadis kecil yang selalu memanggilku kakak. Seketika air mata ini
membanjiri lekuk wajah oval ku. Teringat olehku disaat banyak mata menatapku
dipenuh rasa tak percaya dan sorot kebencian yang mendalam, mengigil tubuh ku
mengenang semua itu. “Apa salah ku ya Tuhan ???? Tubuh mungil itu terbujur kaku
bukan karena ku….Tapi itu kecelakaan”
“Kenapa kau menangis? Hapus air mata palsumu! Dasar munafik!!!”
Hardiknya ketus dan penuh kemarahan. Seketika suasana menjadi hening, batin ini
menjerit mendengar kata-kata itu tapi sampai saat ini, begitulah anggapan semua
orang padaku. Dan semuapun menjadi gelap.
Kurasakan tubuh mungilku terbangun dari sebuah mimpi yang sangat pahit,
namun kepahitan itu menyisakan setetes kebahagiaan dalam manis nya suatu
kenyataan bahwa sosok kecil yang sempat hilang itu kembali berada disampingku.
Kupeluk erat tubuh mungil Aisyah, kutatap matanya lekat-lekat mencoba jeli
mencari kejujuran dari polos sorot sinar indahnya bahwa sebenarnya aku tidaklah
sejahat yang mereka semua fikirkan. Dan semua itu cukup membuatku lega.
“Aisyah, jangan pergi lagi ya … Kakak sangat menyayangi mu … J” Air mata kebahagiaan gerimis membasahi
pipiku, betapa bersyukurnya aku menemukan suatu mukjizat bahwa adik ku ternyata
masih bersamaku dalam perjuangan hidup yang keras ini. Sosok gadis kecil inilah
satu-stunya bukti yang bisa menyelamatkan ku dari kejamnya fitnah dan sorot
kebencian masyarakat kampungku.
“Tantee keluarlah sekarang …… Aisyah … Aisyah masih hidup! Ternyata
bukan tubuh Aisyah yang hanyut terbawa arus sungai safari 2 hari yang lalu,
sekarang Aisyah bersamaku” Lantang suaraku berteriak dengan harapan tante Marni
segera keluar menghampiriku dan Aisyah.
Tapi tubuh paruh baya itu tak jua muncul menghampiri.
Lekat-lekat kutatap wajah manis adik kecilku, tampak olehku mulut gadis
kecil itu bergerak-gerak, dengan fasih ia melafazkan kata-kata yang tak begitu
terdengar jelas. Kubuka lebar-lebar pendengaran ku dan ku coba lebih jeli
memaknai setiap untaian katanya, tapi sedikitpun tak kuasa aku memahaminya.
“Aisyah … Apa yang engkau bicarakan sayang ? Kakak tak mendengarnya ….
Cobalah berkata lebih jelas lagi …” Pintaku pada Aisyah. Namun Aisyah membalas
kata ku dengan tatapan sedih, ia membalasnya dengan meraih tangan ku dan
menyelipkan selembar kertas putih dan memaksaku untuk segera membacanya.
Tergerak jemariku mebuka kertas putih itu secara perlahan, dan mata ini mendapati
sebuah puisi yang tertulis rapi didalamnya.
Teruntuk Kakakku tercinta Dina.
(DN/27/12/10)
Malam ku begitu hitam
Bayangku yang indah oleh sinar
rembulan
Menjelma suram
Walau ribuan bintang
menyunggingkan senyum
Keindahan ……………
Itu bukan untuk ku …………. Sayang
Tapi untuknya ………… yang mampu menghadirkan
terang
Ingin aku menentang malam
Bergulat dengan legamnya
kehidupan
Tapi apakah dayaku ?
Aku bukanlah kunang-kunang…………
Yang mampu bersinar disaat malam
Ya Allah ……….. Ya Rohman………… Ya
Rohim
Aku lemah dalam tangis kenistaan
Tapi bergulat dengan malam………….
Menyadarkan ku akan adanya terang
!
Jika malam hitam …………….dalam
lubuk hatiku punya impian
Ingin ku raih esok dengan
senyuman ……….
J
Kuharap Engkau pun begitu kakak ku, tataplah
kehidupan ini dengan semangat yang membara, jadilah dirimu sendiri dan Aisyah
sangat menyayangi mu.
Sesaat setelah jemariku membuka kertas putih itu, Aisyah pun segera
beranjak pergi dan setengah berlari menjauh dariku. Aku menyadari hal itu, ku coba
mengejarnya agar tak kembali kehilangan sosok kecil itu dalam kehidupanku. Tapi
langkah Aisyah begitu cepat dan sosok nya kembali menghilang. Jauh mata ini
memandang sekelilingku, namun nihil hasilnya. Tatapku kembali nanar dibuatnya.
Badan ini lemas seketika. Dan saat ini kurasakan punggungku sangat-sangat sakit
bagaikan ada sebongkah kayu yang menghantam dengan kerasnya. Tuhan ….
Kuatkanlah Aku!!!
Saat rasa sakit itu hilang, bayangan hitam itu kembali tersenyum
beringas dan menyapaku dengan nada yang dipenuhi kebencian. “Nyenyak juga
kulihat tidurmu dalam balutan selimut dosa! Kau benar-benar sosok pembunuh
berdarah dingin yang tak tahu malu!” Suara paruhnya menggumamkan kata yang
sangat menyayat hati ini. Memojokkan ku dalam kalutnya keadaan. Dan fikirku
kembali dalam kegalauan.
^_^